Hukum Mengqadha’ Puasa Orang yang Meninggal Dunia
Puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa adalah salah satu dari tiang agama yang termaktub dalam sabdanya. Jika satu tiang tidak kokoh berdiri maka tiang yang lain juga tidak akan kokoh berdiri, begitu mungkin jika kita analogikan. Lalu permasalahannya bagaimana jika ada salah seorang yang meninggalkan puasa tanpa sempat menggantinya hingga ia mati?. Seperti yang termaktub dalam firman-Nya bahwa ketika ajal datang, maka tidak akan maju maupun mundur waktunya.
Argumentasi primer dari permasalah tersebut sudah sangat jelas karena hadits yang di maksud termasuk hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam muslim. Dengan sanad yang bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak ber’illat dan tidak syadz. Hadits tersebut tercatat sebagai hadits ke 2748 dan 2750 dalam bab kitab shiyam lebih tepatnya bab qadha’ ash shiyam ‘an al mayyiti.
Argumentasi sekunder bagaimana mengqadha’ hutang puasa orang yang telah meninggal dunia ini di tafshil. Yang pertama, jika orang yang berhutang puasa tersebut meninggalkan kewajiban puasa karena udzur seperti orang sakit yang sakitnya berlanjut sampai ajal menjemput sehingga tidak sempat mengqadha’ puasa yang dia tinggalkan maka orang yang mempunyai hutang puasa tersebut tidak dikenakan fidyah, tidak wajib mengqadha’ dan tidak dikenakan dosa.
Yang kedua, bagi orang yang berhutang puasa dan puasa yang dia tinggalkan bukan karena udzur dan belum semapat mengqadha’nya, maka menurut imam syafi’i dalam qaul jadidnya, wali orang tersebut wajib membayar fidyah 1 mud per hari dari puasa yang ditinggalkan atau setara dengan 3,4 liter makanan yang mengenyangkan yang biasa di sebut makanan pokok. Sedangkan menurut qaul qadim, orang yang berhutang puasa maka bagi walinya tidak wajib membayar fidyah akan tetapi sunnah mengqadha’ puasa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal tersebut.
Di dalam kitab fiqh sunnah karangan sayyid sabiq di jelaskan bahwa ulama’ berbeda pendapat dalam hukum orang yang mempunyai hutang puasa, apabila ia mati sesudah ada kemungkinan untuk mengqadha’ tetapi tidak di kerjakannya. Pendapat yang pertama -yakni dari kalangan hanafiyah, malikiyah dan sebagian dari syafi’iyah- bahwa bagi walinya tidak di sunnahkan berpuasa akan tetapi membayar fidyah. Pendapat yang kedua –sebagian syafi’iyah- bahwa bagi walinya disunnahkan berpuasa tanpa fidyah.
Terlepas dari itu semua, dapat dikatakan bahwa ulama’ syafi’iyah pada pendapat yang pertama berpijak atas qaul jadid seperti yang dikemukakan di atas, sementara ulama’ syafi’iyah pada pendapat yang kedua berpijak atas qaul qadim.
Dari dua argument yang dipaparkan di atas, dapat menjadi dasar hukum atau jawaban dari permasalahan ini dengan berdasar pada qaul qadim. Karena pendapat madzhab syafi’i dalam qaul qadimnya jelas penyandarannya pada hadits nabi dalam argument primer bahwa disunnahkan bagi wali orang meninggal dunia yang ia meninggalkan hutang puasa mengganti puasa yang ditinggalkannya. Sedangkan bentuk penyandaran hokum pada qaul jadid, dalam kitab al bajuri (hasiyah kitab fathul qarib), di jelaskan bahwa qaul jadid tidak berpijak pada dalil al quran atau hadits melainkan dengan mengqiyaskan pada kewajiban bagi wali untuk membayar fidyah atas shalat atau i’tikaf wajib yang tertinggal. Namun, dijelaskan juga disana bahwa pendapat pengqiyasan tersebut dha’if dan mushannif kitab tersebut agaknya selaras dengan pemikiran penulis yang lebih memilih qaul qadim sebagai sandaran atas permasalahan yang kita bahas.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!