Pos

KH Zaini Mun’im, pejuang dan pendiri Ponpes Nurul Jadid

Probolinggo (ANTARA) – Mandat ulama adalah pewaris nabi dalam menyebarkan firman-firman Ilahi yang tertulis maupun yang tak tertulis. Sebagai pewaris nabi, ulama tak cukup hanya berjuang melalui mimbar-mimbar khutbah, melainkan pula harus memiliki sikap berani melakukan perubahan dan pembaruan demi mewujudkan cita-cita ideal dari Nabi Muhammad Saw, yaitu menjadikan umat yang paripurna.

KH. Zaini Mun’im, selain dikenal sebagai figur alim, juga kisah perjuangannya dalam sejarah panjang kemerdekaan Indonesia. Ulama ini merupakan sosok yang berani memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, sehingga mampu mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Kiai Zaini Mun’im adalah arketipe ulama yang tidak hanya menerjemahkan Islam dalam spektrum ubudiyah, melainkan menjadi realitas di kehidupan.

Kiai Zaini lahir tahun 1906 di Desa Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura, dari pasangan KH Abd Mun’im dan Nyai Hamidah. Dari garis keturunan ayahnya, Zaini merupakan keturunan raja Sumenep yang silsilahnya sampai kepada Sunan Kudus. Sementara dari garis ibu, ia adalah keturunan dari raja-raha Pamekasan. Ia adalah seorang bangsawan yang bergelar Raden yang sangat disegani di Madura.

Jejak Kiai Zaini mendirikan pesantren menunjukkan bahwa spirit juang beliau dalam mendobrak kohesi sosial yang awalnya jauh menyimpang dari ajaran suci (sesat), kemudian mampu menggiring masyarakat menjadi kaum agamis yang dekat dengan nilai-nilai Ilahi.

Namanya perjuangan, tentu tidak mudah. Saat mendirikan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Kiai zaini harus berjuang menghadapi berbagai ancaman dari binatang buas dan orang yang tidak sudi atas kehadirannya. Namun tak ada rasa getir sedikit pun di hatinya. Perjungannya berhadapan dengan sistem sosial yang kala itu masih porak poranda. Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, yang kini menjadi markas Ponpes Nurul Jadid, zaman dulu tidak seperti saat ini.

Pada masa itu, sebelum bernama Karanganyar, desa ini dikenal dengan sebutan Tanjung. Nama yang diambil dari sebuah pohon besar yang berdiri di tengah-tengah desa. Masyarakat setempat menganggap pohon tersebut mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Tak sedikit dari masyarakat setempat menjadikan pohon tanjung itu sebagai sesembahan, yang pada akhirnya tanjung diabadikan sebagai nama desa.

Pada mulanya, desa kecil yang terletak di pesisir di Kecamatan Paiton ini, sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan. Sebab, salah satunya banyak binatang buas yang mendiami desa ini. Di sisi lain, kehidupan penduduk desa juga sangat memperihatinkan. Mereka menganut animisme dan dinamisme yang ditandai dengan keberadaan beberapa pohon besar yang tidak boleh ditebang karena diyakini sebagai pelindung mereka.

Upaca ritual dalam bentuk pemberian sesajen merupakan hal lazim saat itu, utamanya di momen-momen tertentu, seperti hajatan dan ketika musim tanam tiba. Konon, sesajen tersebut dipersembahkan kepada roh yang diyakni berada di sekitar pohon besar dengan memiliki kekuatan yang di luar nalar manusia. Beberapa masyarakat melakukan upacara ritual dengan meletakkan ayam di setiap titik yang dianggap sakral. Selain itu, setiap tahun, mereka mengadakan selamatan laut dengan melarung kepala kerbau.

Dalam pergaulan masyarakatnya, marak sekali terjadi perjudian, perampokan, pencurian dan tempat pekerja seks komersial (PSK). Kehidupannya cenderung hedonis, dalam keyakinan mereka, kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat dalam perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran. Kepedulian masyarakat terhadap alam sebagai sumber kehidupannya pun sangat memprihatinkan. Dengan demikian, waktu itu Karanganyar dicap sebagai desa mati.

Di tengah situasi dan kondisi sosial masyarakat yang demikian, KH. Zaini Mun’im, setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH. Syamsul Arifin, ayah dari KH. As’ad Syamsul Arifin (Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo) memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarga di desa itu.

Dengan berbekal satu batang lidi, beliau berjalan menelusuti tanah yang sudah menjadi miliknya. Binatang buas yang mendiami tanah tersebut lari menuju utara desa, yaitu di daerah Grinting. Kurang lebih satu tahun beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil, dan mengubah hutan menjadi tegalan.

Awalnya, kedatangan Kiai Zaini Mun’im ke Desa Karanganyar bukan bermaksud untuk mendirikan pondok pesantren, melainkan untuk mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. Sejatinya, beliau ingin melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta bergabung dengan teman-teman seperjuangannya.

Cita-cita Kiai Zaini untuk menyiarkan agama Islam, kala itu melalui Departemen Agama (Depag) tidak tersampaikan, sebab sejak beliau menetap di Karanganyar, ada dua orang santri (Syafi’uddin dan Saifuddin) yang datang kepada beliau untuk belajar ilmu agama.

Kedatangan kedua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat dari Allah yang tidak boleh diabaikan. Dan mulai saat itu beliau menetap bersama kedua santrinya.

Seiring waktu, suarau kecil milik Kiai Zaini terus berkembang. Santri beliau terus bertambah. Pendidikan dan bimbingan yang beliau berikan tidak sebatas di lingkungan pesantren saja, namun berhasil membawa perubahan budaya dan kondisi masyarakat Desa Karanganyar menjadi kawasan dengan tatanan sosial yang tertata lebih baik.

Kini Pondok Pesantren Nurul Jadid sudah memiliki belasan ribu santri dari berbagai segala penjuru negeri, bahkan dari mancanegara. Sang pendobrak kesesatan yang bernama Kiai Zaini Mun’im telah lama berpelukan dengan kekasih-Nya. Kiai Zaini wafat pada 26 Juli 1976, namun semangatnya sebagai mujaddid dan mujahid terus mengalir pada santri-santrinya.

Penulis: Ahmad Zainul Khofi
*) Artikel sebelumnya telah dimuat di AntaraNews

Kritik Kiai Zaini Mun’im Atas Tafsir Jalalain

nuruljadid.net-Dalam tulisan sebelumnya, hamba sebut bahwa kitab kesukaan Kiai Zaini Mun’im, pendiri Pesantren Nurul Jadid Paiton, sebagaimana dituturkan putra beliau, Kiai Zuhri Zaini, adalah kitab Tafsir Jalalain Dan Kitab Riyadl al-Shalihin. Nama pertama adalah kitab tafsir yang menjadi banyak bacaan di Pesantren di Indonesia. Sementara nama kedua adalah nama kitab yang berisi hadis-hadis nabi yang ditulis oleh al-Imam al-Nawawi. Dua kitab itulah yang menjadi bacaan kesukaan beliau di hadapan santri Nurul Jadid masa-masa awal.

Kiai Zaini Mun’im ini adalah satu dari beberapa kiai yang diakui kealimannya oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, beliau menjadikan Kiai Zaini sebagai protype kiai dalam hal ilmu agamanya, dalam sebuah momen, beliau berdawuh, “Tujuan Ma’had Aly Situbondo bukan politik tetapi ingin cetak ulama seperti Kiai Zaini Mun’im dan Kiai Asnawi Kudus.”  Kiai As’ad mengenal Kiai Zaini dalam waktu yang cukup lama. Keduanya nyantri kepada Syaichona Kholil Bangkalan dalam waktu yang bersamaan. Bedanya; jika Kiai As’ad sering bertugas di dhalem Kiai Kholil, maka Kiai Zaini bertugas di musalla pesantren. Itulah kisah yang penulis sempat dengar dari beberapa sumber.

Sepulang dari Bangkalan, keduanya menjadi kiai terkemuka, Kiai As’ad meneruskan ayahnya, Kiai Syamsul Arifin, mengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, sementara Kiai Zaini Mun’im, mendirikan pesantren Nurul Jadid, di daerah Paiton Probolinggo. Nah, di pesantren yang ia rintis, Kiai Zaini rutin memberikan pengajian Tafsir Jalalain dan Riyadl al-Shalihin.

Kepakaran Kiai Zaini dalam ilmu keagamaan khususnya tafsir dan fikih tidak diragukan. Khusus dalam bidang tafsir, salah seorang kawan saya, Irfan, santri Ma’had Aly Nurul Jadid, bercerita bahwa Kiai Zaini memiliki karya dalam bidang tafsir, hanya saja tidak sampai selesai ditulis beliau sudah menghembuskan nafas terakhir. Keahlian beliau dalam bidang tafsir terbaca juga ketika memberi pengajian di hadapan santri, tak jarang beliau memberikan “keberatan” atas penafsiran dari seorang mufassir. Misal seperti penolakan beliau kepada penafsrian al-Suyuti ketika menafsiri salah satu ayat dalam Surat Yusuf.

Baca juga:  Sabilus Salikin (14): Rabitah (Merabit)

Cerita ini dikisahkan oleh Kiai Zainul Muin Husni, santri Nurul Jadid di masa Kiai Zaini Mun’im, yang saat ini menjadi dosen penulis di Ma’had Aly Situbondo. Dalam sebuah kesempatan, Kiai Zainul bercerita bahwa ketika menafsiri kisah asmara nabi Yusuf dan Zalikha dalam Qs. Yusuf 24, Kiai Zaini tampak tak setuju dengan penafsiran al-Suyuti. Secara lengkap, ayat tersebut berbunyi:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ

“Dan Sungguh, perempuan itu (Imraah aziz) telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf berkehendak kepadanya (Imra’atu Aziz) seandainya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (Qs. Yusuf [12]: 24)

Ketika menjelaskan “tanda” itu al-Suyuti mengutip Ibnu Abbas yang menyebut bahwa saat itu Nabi Ya’qub, ayahanda Nabi Yusuf, tiba-tiba tampak di hadapan putranya itu, lalu beliau menepuk dada anaknya dan seketika hasratnya pudar seperti keluar dari jari-jarinya. Yang membuat Kiai Zaini Mun’im memberi kritik keras adalah tatkala al-Suyuti menafsiri jawab laula (لولا) pada ayat di atas dengan kata “Lajama’aha” (لجامعها), seperti yang ditulis al-Suyuti Tafsir al-Jalalain:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ} قَصَدَتْ مِنْهُ الْجِمَاع {وَهَمَّ بِهَا} قَصَدَ ذَلِكَ {لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَان ربه} قال بن عَبَّاس مُثِّلَ لَهُ يَعْقُوب فَضَرَبَ صَدْره فَخَرَجَتْ شَهْوَته مِنْ أَنَامِله وَجَوَاب لَوْلَا لَجَامَعَهَا

Baca juga:  Bagaimana Imam al-Qusyairi Menafsirkan Nahwu dalam Dunia Tasawuf?

“(Dan dia (perempuan) itu berkehendak kepadanya), artinya perempuan itu hendak bersetubuh dengan Yusuf. (Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya), yakni berkehendak seperti itu. (Seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya) Ibnu Abbas berkata, “Yakqub menampakkan diri di hadapan Yusuf lalu memukul dadanya, maka keluarlah syahwatnya dari jari-jemarinya. Jawab dari kata “laula” adalah “lajama’aha.”  

sehingga secara utuh pemahaman redaksi ayatnya begini, “Seandainya dia (Yusuf) tidak melihat tanda dari Tuhannya niscaya dia telah menyetubuhi perempuan itu.”

Titik kritik Kiai Zaini adalah penafsiran di atas tidak sesuai dengan posisi kenabian yang digaransi dengan sikap ma’shum, yaitu keterjagaan dari melakukan dosa baik sebelum atau sesudah menjadi nabi. Dalam pandangan Kiai Zaini, untuk keluar dari tudingan tidak baik kepada nabi Yusuf, maka jawab dari “Laula” pada ayat di atas adalah disebutkan sebelumnya, yaitu lafaz “Hamma”, berkehendak (dalam ilmu Nahwu ada keterangan boleh mendahulukan jawab atas syarat). Sehingga redaksi penafsiran yang ditawarkan oleh beliau adalah:

“Seandainya dia (Nabi Yusuf) tidak melihat tanda dari Tuhannya, niscaya dia telah berhasrat pada perempuan itu.” Mafhum dari penafsiran ini adalah, karena tanda itu ada, maka jangankan menyetubuhi, berhasrat saja tidak. Model tafsir ini bisa disebut tafsir yang menghindar dari penafsiran yang agak ngeri-ngeri sedap, yang mengatakan bahwa seandainya tidak ada tanda dari Tuhan, maka nabi Yusuf akan menyetubuhi Zalikha.

Baca juga:  Indonesia: Negara Kesejahteraan

Alur fikir seperti yang diambil Kiai Zaini Mun’im adalah persis seperti sikap penulis Hasyiyah (catatan) pada Tafsir Jalalain, yaitu Syaikh Ahmad al-Shawi dalam Hasyisyah al-Shawi. Beliau menulis ketika menafsiri ayat di atas:

وقيل ان قوله وهم بها هو الجواب والمعنى لولا ان راى برهان ربه لهم بها امتنع همه بها لرؤية برهان ربه فلم يقع  هم اصلا وحينئذ فالوقف على قوله ولقد همت به وهذ هو الاحسن في هذ المقام لخلوه من الكلفة والشبهة.

“Dan dikatakan bahwa firman Allah, “ia (Yusuf) berkehendak adalah jawab. Jadi artinya, sekiranya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya, niscaya ia akan bermaksud untuk menyetubuhi perempuan itu. Di sini berkehendak dari selingkuh tercegah, karena Yusuf melihat tanda dari Tuhannya. Maka tak ada kehendak untuk itu sama sekali. Dengan demikian pembacaan ayat ini diwaqafkan (berhenti) pada kalimat pada kalimat “Wahamma biha” Pendapat ini merupakan pendapat yang terbaik dalam konteks pembahasan ini karena terhindar dari pemaksaan dan kerancuan.”

Dalam cerita Kiai Zainul Muin, ketika sampai pada pembahasan ayat di atas itu, biasanya Kiai Zaini dengan tegas mengatakan, “Ini penafsiran yang keliru!”

Beliau tak seperti biasanya yang jika menemukan penafsiran yang menurut beliau salah, berkomentar, “Ini salah cetak, yang benar kira-kira begini”.

 

 

*) Penulis : Ahmad Husain Fahabu (Saktri aktif Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo, Jatim)

*) Tulisan ini diambil dari alif.id

*) Publisher : Ponirin Mika