Pos

Pribadi Bersih Baginda Nabi

Kebersihan menjadi barometer terjaga nya kesehatan baik dalam badan maupun lingkungan. apalagi di musim pandemi ini, semua orang di wanti-wanti untuk selalu mencuci tangan, menjaga stamina tubuh, menggunakan masker, menjauh dari keramaian, serta mengurangi sentuhan ke area wajah dan benda-beda di tempat umum sebagai upaya menghindari terjangkit virus covid 19.

Sebagai inspirasi terbesar dalam gerik gerik kehidupan dan sosok suri teladan, Nabi juga sangat memperhatikan kebersihan badan beliau. Indikasi terbesar bahwa baginda merupakan sosok yang sangat menjaga kebersihan ialah keistimewaan beliau, yakni memiliki keharuman badan dan keringat yang melebihi bau minyak wangi dan aroma misik.

Uraian tentang sosok pribadi yang sangat memperhatikan kebersihan anggota badannya ini dapat dibaca dalam kitab berjudul Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam al-Insan al-Kamil karya Sayyid Muhamad bin Sayyid Alawi bin Sayyid Abbas al-Maliki al-Hasani dalam bab كمال إعتنائه بمظهره الشريف Berikut penjelasannya,  

Pertama, Sayyid Alawi al-Maliki memaparkan bahwa Nabi selalu menjalankan aktivitas mencuci tangan baik sebelum maupun sesudah makan, senantiasa bersiwak dalam segala keadaan, memelihara kebersihan sisi-sisi tubuh dengan memotong kuku dan kumis serta mencabut bulu ketiak. Rasulullah juga memerintahkan umatnya untuk selalu menjaga kebersihan, sebab Allah sebagai  zat yang maha bersih mencintai kebersihan. Beliau mengutip hadis yang diriwayatkan oleh imam Thurmudzi,  Rasulullah bersabda:

إن الله طيب يحب الطيب نظيف يحب النظافة وكريم يحب الكرم جواد يحب الجود

(sesungguhnya Allah adalah zat yang maha baik (dan) mencintai kebaikan, maha bersih (dan) mencitai kebersihan, maha mulia (dan) mencintai kemuliaan, maha dermawan( dan) mencintai kedermawanan) (H.R. Thurmudzi)

Kedua, memperhatikan kebersihan rambut dan dan bercelak. Nabi tidak hanya membersihkan rambutnya, tetapi juga melumuri dengan minyak rambut. Sayyid al-Maliki mengutip dari Sebuah riwayat dikisahkan dari sahabat Anas r.a bahwa Nabi sering menggunakan minyak rambut dan mengurai jenggot nya serta menggunakan qana’ (sepotong kain kepala yang melindungi serban ketika menggunakan minyak rambut), beliau juga memakai celak disetiap malam.

Ketiga, memelihara kebersihan gigi. Nabi selalu memastikan kebersihan di sela-sela gigi beliau setelah mengunyah makanan. Sayyid Alawi al-Maliki melanjutkan bahwa Nabi dalam upaya menjaga kebersihan dan wangi nya mulut senantiasa bersiwak di setiap keadaan, seperti ketika hendak melaksanakan sholat dan melantunkan al-Quran, ketika akan dan setelah bangun dari tidur, ketika hendak berangkat atau setelah kembali dari perjalanan, bahkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhori Nabi bersabda;

لولا ان اشق على امتي لأمرتهم بالسواك

 “andai saja tidak memberatkan atas umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak” (H.R. Bukhori) dalam riwayat lain dari Imam al-Barazi dan al-Tabrani menggunakan redaksi “ Niscaya akan aku wajibkan bersiwak atas mereka ketika hendak menunaikan shalat sebagaimana aku wajibkan atas mereka berwudhu’ ”

 Keempat, perhatian atas pakaian. Sayyid Alawi al-Maliki menuturkan bahwa Nabi Muhammad merupakan pemimpin para nabi, oleh sebab itu beliau merupakan paling bersihnya mahluk Allah dalam segi badan, pakaian, rumah dan majelis nya. Sebuah hadis diriwayatkan oleh Ibnu Sinni bercerita bahwa Nabi memperindah diri dan menganjurkan untuk melakukan hal serupa, beliau bersabda;

ان  االله  الجميل يحب الجمال

“sesungguhnya Allah adalah zat yang maha indah (dan) mencintai keindahan”

 Sayyid Alawi al-Maliki mengutip sebuah kisah ketika ada beberapa utusan datang kepada Nabi, beliau terlebih dahulu memperindah diri dengan pakaiannya sebelum menemui mereka. Ketika hari raya datang beliau memakai pakaian yang khusus sebagaimana juga beliau lakukan pada saat mendirikan shalat jumat, hal itu senada dengan perintah beliau dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Hakim

أحسنوا لباسكم وأصلحوا رحالكم  حتى تكونوا كأنكم شامت في الناس

”Perindahlah pakaian dan perbaikilah tunggangan kalian sehingga kalian seakan-akan terlihat gembira dihadapan orang” (H.R. Ibnu Sinni), tentu hal ini bukan untuk memamerkan diri atau kekayaan, akan tetapi agar menciptakan sebuah kondisi yang menyenangkan satu sama lain.

Akhirnya sebagai diri yang sempurna, Rasulullah juga mengajarkan akan pentingnya aspek-aspek lahiriah untuk dijaga disamping selalu memperbaiki jiwa rohani kita, hal ini adalah upaya terciptanya stabilitas dalam hidup baik dalam aspek lahiriah lebih-lebih dalam aspek batiniah manusia, sebab selama masih hidup didunia manusia tidak akan terlepas dari dua hal tersebut.

 Penulis : Nadzif Fikri Abady

Editor : Ponirin Mika

18 Ramadan 1441 H

Korban Framing Kekerasan Wacana dan Kekerasan Fisik

Korban Framing Kekerasan Wacana dan Kekerasan Fisik: Andai Kalimat Tauhid tidak Dijadikan Simbol Bendera ISIS dan Hizb al-Tahrīr.

Kalimat “lā ilāha illa Allāh Muhammad rasūl Allāh” merupakan kalimat paling agung dan paling sakral bagi pemeluk agama Islam. Karena salah satu keistimewaannya adalah kandungan dua kalimat tersebut mampu mencakup semua ajaran-ajaran Islam dan menjadi pondasinya. Kalimat ini, menjadi pintu pertama untuk masuk ke dalam agama Islam dan menjadi syarat mutlak untuk diakui keislaman seseorang di dunia ini, terutama di akhirat nanti. Juga, semua umat Islam pastinya mendambakan agar akhir hidupnya membawa bekal dan ditutup dengan dua kalimat di atas.

Tapi entah mengapa, belakangan ini, saya pribadi terkadang merasa risih tidak enak, seperti ada perasaan yang mengganjal dan rasa hawatir, ketika akan menuliskan kalimat ini di publik atau sekadar untuk menyampaikan dalam sebuah pengajian. Ini mungkin karena alam bawah sadar saya mulai terjajah oleh framing yang seolah-olah dua kalimat sakral ini memiliki stigma negatif, -antara lain- akibat dipakai sebagai simbol bendera organisasi Hizb al-Tahrīr yang saat ini menjadi organisasi terlarang di banyak negara di dunia. Juga, menjadi simbol bendera organisasi ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) yang kerap terlihat melakukan penindasan dan kekejamannya sambil mengibarkan panji tauhid dan mengikat kepalanya dengan simbol kalimat tauhid yang sakral itu, sehingga menjadikan trauma masyarakat dunia, bahkan berujung pada phobia terhadap Islam.

Jujur, saya tidak sepakat dengan konsep dan pergerakan ISIS serta khilafah yang diusung oleh Hizbu Al-Tahrīr. Alih-alih, jika akan diterapkan di Indonesia yang faktanya berideologi Pancasila yang notabene adalah ‘mitsāqon ghalīda dan konsensus perjanjian bersama atas seluruh elemen masyarakat Indonesia dengan berbagai latarbelakang yang berbeda-beda. Apakah umat Islam akan menjadi umat yang pertama kali atau paling awal yang akan merusak dan mengkhianati perjanjian dan kesepakatan bersama ini? Tentu jawabannya adalah tidak, karena memang dalam Islam tidak terdapat nash qath’i yang mengatur secara rijit terkait bentuk dan sistem negara. Sementara itu, di Indonesia secara khusus, konsep khilafah ini tidak memiliki landasan historis dan normatif, bahkan bertolak belakang dengan ideologi negara dan konsensus bersama.

Kembali pada pembahasan perasaan tidak enak dan risih pada saat menulis atau melihat dua kalimat sakral di atas. Rasa risih ini, misalnya untuk saya pribadi, juga seringkali muncul ketika melihat tulisan kalimat tauhid tersebut di media-media sosial, pada pigora yang biasanya terpampang di ruang tamu, saat mendengar ceramah-ceramah dan semacamnya. Anehnya, terkadang ketika melihat dua kalimat tersebut, tiba-tiba yang tergambar dan terlintas pertama kali di benak dan alarm pikiran saya adalah langsung mengarah kepada HT dan ISIS, bukan pada keagungan dua kalimat tersebut atau mengingat Allah dan rasul-Nya. Inilah yang saya sesalkan. Andai saja ISIS dan HT tidak menggunakan simbol kalimat sakral itu dalam benderanya, barangkali fenomena perasaan semacam ini tidak akan terjadi dalam diri dan benak saya yang semestinya di saat melihat tulisan ini bisa langsung mengingatkan pada Tuhan, tapi kok malah berubah jadi ingat HT dan ISIS.

Selain itu, perasaan yang sangat mengganggu psikis saya ini, juga kadang timbul karena saya hawatir dituduh atau sekadar dianggap sebagai pengikut atau simpatisan kelompok ekstrim kanan. Ya entahlah, mengapa bisa muncul perasaan seperti ini. Barangkali karena saya gagal faham atau memang akibat framing liar yang terlanjur terbaca saat berseliweran di beranda internet dan media sosial saya sebelum-sebelumnya, yang bisa jadi kontennya tidak komprehensif,  sepotong-sepotong dan tidak mendudukkan terlebih dahulu terkait sudut pandang kalimat sakral ini, apakah dalam konteks ceramah keagamaan, konteks ajaran agama Islam, konteks organisasi, konteks dunia perpolitikan global serta tidak mendudukkan antara agama dan oknum pemeluknya. Dan yang lebih parah adalah berita-berita kekerasan, baik kekerasan wacana maupun kekerasan fisik.

Dari fenomena di atas, saya menjadi sadar bahwa menjadikan simbol-simbol sakral dan kata kunci keagamaan dalam dunia politik, jika tidak tepat dan bijak, maka dapat berefek negatif pada agamanya dan dapat mengotori kesucian dari kalimat sakral dan agama itu sendiri. Itulah mengapa ulama kita dan founding fathers bangsa ini, tidak menjadikan kata kunci dan istilah kunci agama sebagai simbol negara. Karena memang, jika simbol agama tersebut dipakai sebagai ideologi negara dan ternyata di kemudian hari tidak mampu menjaga marwah simbol tersebut dalam realitasnya, maka agama akan terkena imbasnya juga. Itulah salah satu hebatnya mengapa ulama kita tidak memasukkan istilah-istilah kunci agama dalam bernegara demi menjaga kesucian dan kesakralan sebuah agama serta keutuhan bangsa.

Jadi, meskipun ulama kita tidak memakai istilah Islam secara eksplisit dalam bernegara, bukan berarti beliau-beliau itu anti Islam atau tidak islami. Juga sebaliknya, seumpama ada suatu kelompok yang menggunakan simbol-simbol Islam dalam dunia perpolitikan, juga belum tentu kelompok tersebut adalah pro lahir batin pada Islam, contohnya seperti kelompok ISIS yang muncul di Timur Tengah. Ini barangkali yang perlu digaris bawahi agak tebal.

Selanjutnya, selain kalimat sakral di atas, masih ada banyak istilah-istilah kunci yang kerap mengganggu kondisi batin saya. Misalnya di saat menyebut istilah “tauhid”, “syariat Islam”, “syariat Allah”, “jihad”, “hijrah”, “Ikhwan” dan lain sebagainya. Padahal kalimat tersebut merupakan istilah-istilah kunci yang memang terdapat dalam al-Quran, al-Hadits, kitab-kitab klasik dan sumber agama Islam  lainnya. Bahkan juga digunakan dalam praktik keagamaan umat Islam. Salah satu contoh seperti kata “ikhwan”. Istilah ini sering dipakai dalam komunitas tarekat sebagai kata sapaan. Tapi yang membuat saya tidak habis fikir adalah ketika menyebut atau mendengar istilah “ikhwan” tersebut, maka kadang yang terlintas pertama kali di benak saya adalah organisasi Ikhwanul Muslimin wa Akhowatuha. Ini masalah namanya.

Fenomena seperti di atas, juga bisa saja terjadi akibat seringnya istilah-istilah kunci tersebut dibenturkan atau digunakan pada tempat yang tidak semestinya. Semisal, istilah “tauhid” ini sering digaungkan para teroris saat melakukan kejahatannya, istilah “syariat” dipakai untuk menggaungkan slogan “NKRI bersyariah”. Sementara istilah “jihad” dan “hijrah” juga kerap dipakai oleh kelompok jihadis dan para teroris dengan cara mempersempit dan mereduksi makna keduanya untuk kepentingan mereka.

Baik, di sini akan saya coba ulas sedikit terkait masalah jihad di atas sejauh pemahaman saya. Ajaran jihad yang bermakna (perang) dalam agamà Islam  memang benar adanya, tapi kapan ajaran ini boleh diamalkan? apa alasannya sehingga harus berjihad? bolehkah mengobarkan semangat jihad perang sembarangan?. Ajaran jihad memang boleh diamalkan jika waktu, cara dan alasannya jelas dan benar, misalnya seperti saat resolusi jihad pada tahun 1945. Itupun masih tetap dalam batasan etika/moral yang harus tetap dijaga dan tidak boleh serampangan dalam berjihad. Jika suatu negeri dalam kondisi damai, tidak dalam kondisi agama diserang, tidak dalam upaya membela negara, tidak dalam kondisi diusir dari tanah air, tidak dalam kondisi dihalang-halangi dan tidak diganggu dalam menjalankan agama, maka jihad perang tidak boleh diamalkan karena tidak ada sebab dan tidak memenuhi syarat untuk berjihad. Hal ini dapat dianalogikan misalnya dengan ajaran Islam tentang kewajiban melaksanakan salat maktūbah. Contoh, salat dzuhur memang wajib dilaksanakan bagi tiap-tiap muslim yang ‘āqil bāligh. Tapi kapan?, apakah boleh salat dzuhur (adā’an) pada pukul 7 pagi? apakah boleh salat dzuhur tanpa wudu’ dalam kondisi normal? bolehkah salat dzuhur dalam keadaan haid?, Kesemuanya, jawabannya adalah tidak boleh.

Nah, karena itu, dalam upaya menjalankan hukum Islam, tidak cukup hanya memahami hukum taklifi (wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah). Tapi lebih dari itu, harus juga memperhatikan hukum wadh’inya. Terlebih, ketika akan mengamalkan atau menerapkan hukum taklifi tersebut di lapangan. Misalnya, apakah sebabnya sudah ada?, apakah syarat-syaratnya sudah terpenuhi semuanya?, apakah masih ada penghalang (mani’) atau tidak?, dan lain sebagainya.

Barangkali fenomena seperti inilah yang juga perlu direnungkan, terutama bagi saya pribadi, agar perasaan yang cukup mengganggu batin saya ini tidak berubah meningkat dan menjelma ke ranah phobia terhadap istilah-istilah kunci agama Islam yang sebenarnya berpengaruh besar bagi kehidupan dan pandangan hidup umat Islam secara umum. Karena itu, ke depan harus lebih bijak lagi dalam menggunakan simbol-simbol Islam dan sebisa mungkin menempatkannya pada tempat yang semestinya, tidak serta-merta menuduh dan prasangka negatif pada sesama, berusaha hidup rukun, bersatu dan bekerjasama dalam merawat perdamaian dan kebhinekaan.

Selain itu, dalam upaya menjaga kesucian agama Islam adalah berusaha untuk tidak mengunakan dalil-dalil agama sebagai justifikasi teologis pada hal-hal yang nyatanya masih belum jelas benar-salahnya agar tidak terjerumus pada prilaku “cocoklogi” yang tidak jarang sampai memperkosa dalil al-Quran dan al-Hadits dengan penjelasan yang tidak seharusnya dan memasukkan kepentingan-kepentingan kotor yang tidak sejalan dengan makna sesungguhnya.

Efek daŕi yang demikian itu, antara lain dapat meresahkan masyarakat awam, bahkan bisa  membuat mereka bergabung dengan kelompok-kelompok garis keras karena terlanjur takut menolak doktrin penjelasan mentornya yang kebetulan melegitimasi pendapatnya yang salah dan penuh kepentingan tersebut dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran dan Hadits. Hal ini terjadi karena kalangan awam menganggap bahwa jika menolak penjelasan mentornya dengan tipe di atas, berarti seolah menolak al-Quran dan al-Hadits. Padahal tidak seperti itu. Karena itu, harus dibedakan, yang mana teks Quran dan teks Hadits, yang mana tafsir, mana produk penjelasan atau ulasan yang disandarkan pada al-Quran dan al-Hadits.

Misalnya, ketika ada muballig menafsirkan ayat اني جاعل فى الارض خليفة dengan memaknai dan menjelaskan makna “khalifah” dalam ayat itu dengan arti “negara khilafah ala Taqiyuddin An-Nabhani”. Maka, saya pasti akan menolak penjelasan tafsir seperti itu. Jadi, dalam konteks penolakan ini, yang saya tolak bukan teks suci al-Quran nya. Tapi, yang saya tolak adalah produk penafsirannya yang salah, karena menerjemahkan kata “khalifah” dalam teks ayat tersebut dengan makna “Negara Khilafah”, yang dalam pandangan saya merupakan salah satu bentuk pemaksaan penafsiran atau distorsi penafsiran. Contoh lain misalnya, yang tidak jauh beda dengan fenomena di atas adalah rumor yang cukup meresahkan masyarakat luas belakangan ini, yakni, isu ramalan tentang bakal terjadinya peristiwa “dukhon” yang katanya akan terjadi pada hari jumat (8/5/2020) pertengahan bulan ramadan 1441 tahun ini.

Barangkali, itulah beberapa “curhatan akademik” suatu pengalaman pribadi yang selama ini sempat mengganggu dan menyerang sisi psikologis saya. Kini, saya sadar bahwa dunia maya di samping memiliki sisi positif tapi juga bisa berdampak negatif. Tergantung bagaimana cara kita menggunakan dan menyikapinya. Karena itu, saring dulu sebelum share, jangan lupa filter dan perkuat anti virusnya. (AHM)

Wa allāhu a’lam bi al-Şawāb.

Penulis : Abdul Hafidz Muhammad, Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid

Editor : Ponirin Mika

Alumni Nurul Jadid Asal Jember Jadi Budayawan Nasional

 nuruljadid.net- SUASANA sunyi dan sepi memasuki kawasan Kebun Sanggar Bermain (KSB) di Jalan Agus Salim 32 Mumbulsari. Tempat itu dikelilingi oleh pepohonan yang menghadirkan kesejukan. Ketika memasuki pintu gerbang, tampak beberapa pendapa yang sepertinya sangat indah untuk dijadikan tempat berekreasi.

Setelah Radar Jember Jawa Pos mengucapkan salam, istri dari pemilik KSB tersebut mempersilahkan masuk di ruang tamu yang berbentuk pendapa. Selang beberapa menit, lelaki berambut panjang dengan kumis dan jenggot memutih yang bernama Oonk Fathorrahman tersebut menyapa. Dia merupakan alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid.

KSB tersebut didirikan pada 1987 oleh pria yang biasa disapa Gus Oonk ini. Berangkat dari kekecewaan terhadap pendidikan yang hanya menekankan aspek pengetahuan tanpa membekali siswa dengan karakter dan mental kehidupan. “Jadi pada masa orde baru, siswa hanya dicekoki dengan pengetahuan saja tanpa ada pemberian pemahaman pada siswa tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan benar,” jelas Oonk.

Selain itu, kegelisahan terhadap akhlak para pemuda yang semakin tidak terarah, mengantarkannya pada kemantapan untuk mendirikan sanggar tersebut. Karena pondasi utama yang harus dimiliki oleh manusia adalah mental dan karakter atau akhlak yang baik. “Saya merasakan sendiri waktu itu bagaimana pemuda itu membutuhkan ruang untuk bergerak mengekspresikan diri tapi terarah,” ungkapnya.

Hal yang lebih menginspirasi pendirian KSB tersebut yakni ketika membaca sejarah pemuda Ashabul Kahfi. Menurutnya, para pemuda tersebut lari dari seorang raja yang zalim yang selalu memberikan teror terhadap perkembangan kepribadian manusia. Sehingga mereka memasuki goa untuk menghilangkan segala hal yang meneror dirinya. “Goa itulah yang saya analogkan dengan KBS. Agar orang-orang yang masuk di dalamnya bisa menyelami arti sesungguhnya dari kehidupan. Sehingga ketika keluar mereka menjadi orang yang tangguh,” tambah Oonk.

Dari sanalah KSB mulai berdiri dan didatangi beberapa pemuda yang ingin mencari filosofi kehidupan. Namun, yang masuk ke sanggar tersebut adalah mereka yang memiliki kenakalan yang luar biasa, tapi tidak menemukan wadah. “Mereka pemuda yang orang tuanya sudah tidak sanggup mengasuh karena sangat nakal,” akunya.

Selain itu, yang ikut bergabung dengan sanggar tersebut adalah anak jalanan yang tidak menemukan kemerdekaan dalam dirinya. Bahkan mereka tinggal di sanggar tersebut hingga menikah dan membina rumah tangga di lingkungan sekitar. “Ada yang saya temui di jalanan, lalu saya ajak kesini,” imbuh ayah angkat penyanyi religi Opick ini.

KSB tersebut mendidik para pemuda untuk peka terhadap lingkungannya dengan menekankan pada kepedulian terhadap alam dan manusia serta kesadaran akan nilai-nilai kehidupan. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, KSB memiliki beberapa kegiatan yang mendukung tercapainya keinginan itu.

Pendidikan kepada para pemuda tersebut difasilitasi oleh KSB sendiri, sesuai dengan potensi yang dimiliki. Seperti kesenian teater, melukis, berpuisi, mengukir, maupun bermain musik. “Jadi setiap minggu mereka menyetor satu puisi. Ada yang setoran lukisan,” tambah lelaki yang pernah menjadi anak asuh W.S. Rendra ini.

Bahkan, teater anak-anak di KSB pernah tampil di beberapa negara, seperti Jerman, Jepang, Filipina, dan Vietnam. Hal tersebut sebagai latihan bahwa mereka memiliki mental yang kuat meskipun tinggal di daerah terpencil.

Dalam mengajarkan kepekaan terhadap segala hal, di sanggar tersebut diajarkan olah badan, nyanyian jiwa, dan menari. “Misal gerakan-gerakan menari yang diikuti dengan zikir pada Allah SWT,” tandasnya.

Setiap Selasa malam dan Kamis malam, mereka rutin berkumpul untuk melakukan introspeksi. Anak-anak tersebut diberi kesempatan mengungkapkan segala kegelisahan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pembentukan karakter pada mereka yakni dengan sikap-sikap yang baik. Seperti kedisplinan. Bila ada anak yang mentalitasnya buruh, maka mereka diberi tugas untuk membuang sampah. Sebab disana mereka bisa belajar tentang kecerobohan manusia. “Sehingga dia tahu kecerobohan yang diperbuat manusia melalui sampah yang dibuangnya. Lalu ketika dia sukses di situ, dipindahkan menyapu halaman,” kata Oongk mencontohkan sikap kedisiplinan tersebut.

Di samping itu, KSB tersebut juga melatih para pemuda untuk bertahan hidup dengan segala keadaan. Mereka tidak hanya diajarkan tentang arti kehidupan, namun juga diberikan pemahaman tentang dunia kerja. “Jadi kami juga ajarkan mereka cara bertahan untuk hidup, seperti menjual bakso, membuka laundry, dan sebagainya. Kami dengan keras mengajarkan mereka untuk tidak meminta-minta dan bermalas-malasan,” tegasnya.

Di sanggar tersebut tidak ada struktur organisasi. Sebab, ikatan yang terjalin bersifat kekeluargaan. Sehingga panggilan kepada pendiri sanggar tersebut adalah ayah dan ibu. Sedangkan untuk beberapa yang bergiat di sanggar tersebut adalah saudara.

Seluruh kebutuhan hidup penghuni sanggar ditanggung ditanggung oleh Gus Oonk. “Bahkan dari makan sampai uang transport untuk kuliah, kami yang tanggung. Karena saya memposisikan diri sebagai ayah,” terangnya.

 

Sumber Berita : p4njjember.com

Eksistensi Pendidikan Pesantren

Eksistensi Pendidikan Pesantren

Semenjak pelantikan presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas tertinggi pemerintahan Indonesia untuk kedua kalinya, kita dapat melihat isu radikalisme, terorisme dan intolerasi menjadi perhatian khusus di periode kali ini. Hal ini ditegaskan dengan terpilihnya Fachrul Razi sebagai menteri Agama (tanpa melihat latar belakang), yang dianggap dapat menjadi ikon kuat untuk memukul mundur problem-problem di atas. Bukan main, di awal tugasnya menteri Agama mulai menunjukkan aksinya dengan pelarangan cadar dan celana cingkrang dalam instansi pemerintahan yang dianggapnya memiliki paham radikal.

Penelitian Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2017 mencatat sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi terpapar radikalisme. Tidak sampai di situ, Menag mengatakan sebagian besar pelajar di Indonesia mendukung aksi radikalisme berbasis agama, beliau mengutip survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip), yang menyatakan 52 persen pelajar setuju aksi radikalisme. Yang mungkin seiring perjalanan waktu angka-angka tersebut terus bertambah. Rakyat Indonesia sepatutnya khawatir melihat hasil penelitian tersebut mengingat potensinya masih berlanjut. Namun, bukan berarti menjadi sebuah ‘kecemasan sosial’, saya katakan demikian selama tidak menghasilkan perbuatan destruktif dan masih dalam koridor aman. Tapi apakah penelitian tersebut dapat mereprentasikan “kelemahan” pendidikan di Indonesia?

Pergerakan islamisme-jihadisme

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dibilang variatif dari berbagai persepektif dan tidak terlalu rumit, akan tapi mencukupkan hasil survei sebagai nilai akhir dirasa kurang valid mengingat pergerakan radikalisme juga mengalami kesulitan di berbagai sektor pendidikan. Mungkin benar, saat ini pendidikan di Indonesia sangat rentan terjangkit radikalisme, kita dapat menyaksikan  aksi islamisme-jihadisme yang banyak diikuti oleh pelajar dari berbagai starata, mereka telah terbius oleh “rayuan surgawi” yang termuat komersial Agama.

Pergerakan Islamisme-jihadisme terbilang sangat mengkhawatirkan, bukan sekedar pemahaman  yang mengandung “morfin” yang memabukkan, melainkan pula karena prioritas konsumennya adalah kaum muda. Saya melihat kaum muda saat ini sedang mengalami pubertas beragama, yang sering melakukan aksi frontal dan terlalu fanatik dalam kepercayaannya yang mengakibatkan stagnasi dalam perkembangan dan pembaharuan berfikir. Mengenai hal ini, Grand syaikh Azhar prof. Ahmad at-Tayyib di dalam pembukaan konferensi internasional Tajdid al-Fikr wa al-Ulum al-Islamiyyah menyampaikan “sebab stagnasi ranah ijtihad dan gerakan pembaharuan di era modern ini, diakibatkan keengganan kuam muda dan umat Islam untuk mengemban tanggung jawab, dan membiarkan fanatisme beragama baik di dalam bidang pendidikan atau pendakwahan”. Islamisme-jihadisme juga acap kali membenturkan berbagai struktur sosial, budaya, tradisi, dengan dalil-dalil Agama, alih-alih untuk memuluskan tujuan yang terselubung dibalik itu semua.

Perputaran islamisme-jihadisme ini juga belum ditemukan buntutnya, meskipun setiap tahunnya jumlah pelajar yang mendukung islamisme-jihadisme bertambah, namun hal tersebut tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap tolerasi umat Islam Indonesia. Saya beranggapan itu semua terjadi, selama pertahanan pendidikan Pesantren tetap terjaga yang telah menemani berdirinya Negara ini.

Peran Pendidikan Pesantren dalam Toleransi

Saya memaksudkan pesantren di sini adalah pesantren dengan orientasi ideologi Ahlussunnah wal jamaah, jelas bukan pesantren Wahabiyah atau sering juga di sebut pesantren Salafi. Pendidikan pesantren tradisional (salaf) telah membuktikan perannya dalam membentuk generasi yang dibekali pemahaman beragama yang benar dan toleran. Saya juga beranggapan pendidikan pesantren menjadi satu-satunya institusi yang belum terpapar radikalisme. Hal ini dikarenakan pendidikan Pesantren tetap menjaga ke-aslian turats ulama salaf, melestarikan tradisi sanad yang jelas, dan bukan hanya sebatas teoritis melainkan praksis yang terus diajarkan oleh para Kiai.

Pendidikan pesantren juga berupaya melakukan pembaharuan seiring perubahan zaman, kita lihat beberapa pesantren sudah mulai mengembangkan berbagai fan keilmuan, tidak lagi berkutat pada kitab klasik (yang pada umumnya berwarna kuning, sehingga disebut kitab kuning). Namun, dari semua kemapanan pendidikan pesantran ini, saya melihat stagnasi didalamnya karena para santri hanya dituntut mengaji dan mengesampingkan mengkaji. Mungkin hal ini yang mengakibatkan santri sulit mengeksploitasi pengetahuannya di dalam teori atau ide yang lebih segar.

Ketahanan pesantren dalam menghadapi islamisme-jihadisme tidak mungkin bertahan lama kecuali adanya faktor pelindung. Di dalam tulisannya Prof. Azyumardi Azra bahwa ketahanan pesanteran dipengaruhi oleh beberapa faktor pelindung yaitu kiai, kitab kuning, tradisi pendidikan berorientasi kemasyaraktan, relasi baik dan workable dengan ormas Islam, tradisi akomodasi dan penerimaan perbedaan dan keragaman berbagai bidang. Saya juga menambahkan faktor pelindung lainnya adalah solidaritas santri dan kesadaran bermasyarakat meminjam dauh almarhum kiai Zaini Mun’im “ Orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan rakyat banyak”. Wallahu A’lam.(*)

*Penulis Zainal Fanini adalah alumni santri PP. Nurul Jadid Asrama Diniyah lulusan MA Nurul Jadid angkatan 17 dan saat ini masih menempuh Pendidikan strata 1 di Universitas Al Azhar Mesir.

Editor : Ponirin

Bagimu Agamamu, Bagiku Kau Saudaraku

“Ketuhanan macam apa yang tengah diajarkan para pemerintah ini! Aku memang sejak awal risau pada kata “Ketuhanan yang Maha Esa”, Ulo Kamba memekikkan kalimat dengan tegap ditengah perkumpulan golongan yang memiliki pandangan serupa dengannya. Sudah sejak lama ia beserta komplotannya hidup terpisah dari orang kampung dengan hitungan beberapa mil saja.

Mereka adalah sebagian kecil orang yang menolak ketika mengisi kolom agama. Anjuran negara saat pendataan kartu identitas dengan berani mereka tolak mentah. Meski kartu identitas sebagai keabsahan seseorang akan dianggap menjadi bagian dari negara, yang katanya penuh dengan toleransi (tapi tiap tahun politik isu agama paling mudah dipermainkan kesana kemari), tetapi mereka memiliki alasan tersendiri atas penolakan tersebut. Ulo Kamba, akrabnya disapa Bang Ulo merupakan seorang terdidik alumnus Fakultas Agama Islam disalah satu Kampus Swasta, dia menjadi motorik utama gerakan tersebut.

Petugas dinas kependudukan yang bersikukuh menyodorkan pertanyaan untuk mengisi kolom agama sudah kesekian kali mereka tolak, jawaban akhirnya pasti “Kami akan mengisi kalau abang Ulo Kamba sudah memberi instruksi” Ulo Kamba sebagai biangkeladi pemikiran, golong itu memiliki prinsip agar pemerintah menghapus kolom agama pada kartu identitas.

****

 “Ini semua jelas, demi menutaskan peta kekuasaan politik, agar lebih mudah memetakan kekuatan. Hahahha. Kalian mengapa iya iya saja ketika diperbudak korporat! Sejauh ini kalian belum sadar jika keyakinan yang diagungkan itu tak lebih dari keju bagi para tikus berdasi. Segalanya lebih nikmat tatkala terjadi kultus mengkultuskan tentang siapa yang paling beragama, siapa yang paling bertuhan, siapa yang paling benar”, Ucap baru Sawo menegaskan pada seorang petugas dinas kependudukan yang memaksanya beserta beberapa orang lain untuk mengisi kolom agama pada kartu identitas pribadi. Tak tanggung, bahkan petugas itu mengancam mereka tidak akan diakui sebagai bagian dari negaranya.

Pada siang menjelang surup petugas dinas kependudukan kembali bersikukuh pada Ulo Kamba agar bersedia mengisi kolom agama. Rino si petugas mendatangi Baro Sawo lantaran dia merupakan penggagas gerekan anti kolom agama, Rino berharap jika Ulo Kamba telah tunduk, warga lain juga turut tunduk.

“Lalu hendak kami tulis apa agamamu bang? Islam kah?, Kristen kan, Hindukah?, Budha? KongHu Cu? Atau Katolik?” ungkap Rino sembari mensilangkan kakinya meyakinkan Ulo Kamba.

“Hanya sebatas itu? Itu saja yang disediakan dinas kependudukan?”

“Lalu bang?”

“Beritahu pada ketuamu yang memahakan diri itu. Untuk disebut Islam aku bimbang memahami apa yang mereka sebut sebagai sahadat, salat, zakat, puasa, haji. Tapi aku sakit hati saat umat kristiani juga beberapa gereja katolik terancam keamannannya, aku tidak mau menciderai saudaraku yang beragama budha, aku juga sayang pada kawan kawan ku yang hindu, dan aku tak rela bila ada yang membuat onar pada agama yang dibawa Kong Fu Tze (Kong Hu Chu)”,

“Jadi Abang tidak bertuhan?” pertanyaan Rino membuat Ulo Kamba semakin geram untuk memperlua penjelasannya.

“Aku bukan tidak bertuhan, sebab tuhan ku menjelma semesta, terkadang menjadi satu kesatuan denganku! Nampaknya maha ketuamu perlu diberi pembelajaran soal Kapitayan, Banten Girang, Suluk dan beberapa kepercayaan lain yang hadir sebelum adanya agama yang ujug ujug menuhankan yang Satu!” Soal landasan golongan, Ulo Kamba memang sejak lama menggagas, tak heran jika para petugas gonta ganti mendatanginya dengan harapan mendapat kepastian kolom agama.

“Hmm Abang, soal omongan warga dari kampung sebelah yang men cap abang beserta beberapa warga yang tinggal disekitar rumah abang sebagai aliran sesat karena masih mempertahankan bau wangi wangian kemenyan, acap menyeruwat keris, hingga menuhakan pohon beringin, apa itu tidak dipertimbangkan?” Ucap pegawai dinas kependudukan kepada Bang Ulo Kamba. Dengan tatapan sinis, Ulo Kamba yang telah berumur lebih setengah abad kurang dua tahun memberikan klarifikasi. Suaranya yang khas, dengan intonasi cukup membuat orang getar getir, dan postur jangkungnya, cukup membuat Rino sedikit merunduk.

“Hah, kau tak usahlah mengurus urusi soal kepercayaan itu pula. A-gama. Berasal dari bahasa Sansekerta, yang dipahami sebagai A = Tidak, Gama = Kacau. Percuma beragamatapi saling baku hantam, sentil sedikit soal isu agama para ormas (organisasi masyarakat)ramai bergandengan. Memangnya mereka siapa? Memangnya mereka pemilik agama? Sejauhpemahaman saya selama ini Tuhan tidak pernah meminta dirinya untuk dibela!”

“Lalu apa yang abang kehendaki?”

“Bagimu agamamu, bagi ku mereka saudaraku. Sejak detik ini aku kembali menegaskan bahwa kami tetap bersikukuh kolom agama dihilangkan dari identitas diri! Sadari lah bahwa urusan beragama, erat kaitannya dengan Tuhan. Urusan tuhan dan manusianya merupakan urusan esensial yang tidak berhak diumbar umbar banyak orang.”

“Aku memang penganut dinamisme, aku bahkan masih percaya pada animisme. Tapi kau tak tahu bukan demi apa, dan untuk apa aku melakukan hal itu?”

Perjamauan menjelang surup itu terpenggal oleh matahari yang mulai kelindungan untuksegera menuntaskan sinarnya.

“Maaf bang, sebentar lagi gelap. Saya masih tidak bisa menuliskan agama abang, barangkaliesok atau lusa, dari dinas kependudukan akan kembali menemui abang!”

“Baiklah barangkali nanti aku sempat berfikir terkait usulanmu, meski jawaban akhirnya sudahbarang kau tahu, coba fikirkan juga pemikiranku”

“Sampai kapan pun, kau tetap akan menemui jawaban yang sama.”

“Kalau kau tidak sekekar itu sudah kugulingkan kau Ulo Kamba”, Rino membatin sembari meninggalkan gubuk Ulo Kamba, sementara surup mulai redup Ulo Kambasegera memandikan kerisnya bertepatan malam itu Jumat Kliwon.

****

Dua hari berselang, sejak perjamuan diambang “surup”. Kali ini Rino tengah bersama seorangkawan dekatnya kembali ke gubuk Ulo Kamba yang letaknya cukup jauh dari pemukimanwarga. Kawan Rino seorang ustad kondang yang namanya tersohor dimana mana lantaran gayaberpidatonya berapi api sehingga mampu menarik sanjungan banyak penonton.”Assalamualaikum” Ucap keduanya serempak

“Masuk saja”

“Astaghfirullah kenapa tidak menjawab salam Kami” ucap Gus Asin dengan legowo.

“Menjawab salam memang wajib bagi Agamamu bukan? Fardlu Ain katanya. Tapi kita lihat dulu siapa yang tengah memberi salam, dan kepada siapa dia memberi salam. Salam berarti mendoakan, Assalamualaikum hanya bahasa arab saja, kebanyakan seseorang memberi salam bukan niat mendoakan saudaranya, hanya dijadikan sapaan saja, jadi jika niatmu itu bukan doa, aku tidak wajib menjawabnya” Penuturan Ulo Kamba membuat kedua terdiam, lantaran memang benar Assalamualaikum tidak lebih dari serapah tanpa ada niatan untuk saling mendoakan sesama manusia.

“Apa lagi kau datang kesini?” sembari menyalakan kretek yang dipilinnya sendiri Ulo Kamba menatap sinis kedunya.

 “Bagaimana soal kolom agama dalam kartu identitas diri abang” ucap ustad Kondang hasilinstruksi dari Rino.

“Ya tetap saya menolak segala macam legitimasi dengan kendaraan agama, camkan!”

“Tapi ini hanya sekedar kolom agama bang, apa susahnya” ketus Rino

“Susah sekali, karena Tuhanku tidak sebatas tulisan “Islam” di KTP saja, lebih dari itu kewajiban yang masyarakat anggap sebagai animisme dinamisme aku kerjakan untuk meruwat alam. Bumi sudah tua kawan, berdoa menghadap pohon, sembari memegang keris, lalu menyeruap bau kemenyan bukan mengharap segala sesuatu darinya sebab segala sesuatu tetap saya nisbatkan kepada Allah, Tuhan saya yang Esa, yang saya ragukan bahwa kamu mengEsakan Nya.” dengan nada yakin, Ulo Kamba kembali menolak ajakan petugas dinas kependudukan.

“Tetapi ini sudah kewajiban seluruh warga negara bang, untuk mengisi kolom agama”

“Sekarang aku tanya, kau paham tujuan kolom agama itu apa”

“Tidak bang” keduanya serempak menjawab.

“Dinas begok, Ustad bodoh!” suara Ulo Kamba terdengar merendah, meski bahasa yang dipakainya sarkas.

“Sampeyan hati hati bang bicaranya” ucap ustad Kondang sembari menaikkan tempo pembicaraan.

“Memang begitu adanya. Kolom agama itu huru hara saja, bertujuan untuk mengkotak kotakan saudara kita. Sehingga jangan heran jika isu agama dengan mudah dimainkan hanya demi kepentingan elektoral, kepentingan golongan, hingga kepentingan politik. Bayangkan saja kolom agama itu hapus, kelinduran semua oknum penjaring agama agama”.

“Abang inikan alumni Fakultas Agama, bukankah sudah jelas dalam Al-Qur’an surah Al-Kafirun lakumdinukum waliyyadin” ungkap ustad membelagak kekuatan spiritualitasnya.

“Hahahah. Kamu melegitimasi ayat al-Qur’an, apakah kamu tidak miris melihat umat islam dengan fanatismenya seolah agama mereka yang paling benar, sama sepertimu, yang acap kali ikut campur itu, iya agama”, Ulo Kamba kembali memperkuat pendapatnya soal penghapusan kolom agama pada identitas kependudukan. Si ustad kondang yang tadinya membelagak, tertunduk lesu diamini Rino yang mulai tidak berkutik dengan penjalasan akhir Ulo Kamba.

“Sudahlah mau apa pun kalian berdua, tetap tidak bisa memaksa saya dan beberapa orangdi desa ini, karena satu hal yang haru kalian tau puncak dari agama adalah toleransi, dankemanusiaan. Sebab kita tidak bisa membenarkan seolah agama kita yang paling benar, dankita yang akan masuk surga. Bagimu agamamu bagi ku mereka saudaraku.”

Waalahua’lam bis showab

penulis : Muhammad Afnani Alifian, mahasiswa Aktif  Universitas Islam Malang (Unisma), jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia

(Alumni Siswa Madrasah Aliyah Nurul Jadid, Anggkatan 2018)

 

 

 

 

Panca Kesadaran Santri

Panca Kesadaran Santri

Apakah Anda memiliki anak dan atau murid yang sulit diatur? Apakah Anda pernah menjumpai kelompok masyarakat yang enggan untuk diajak maju? Sebenarnya, mereka yang memang sulit diatur sebenarnya bukan tidak mau dididik, mereka yang nakal bukan enggan menjadi baik, tapi kerap kali orang tua, para guru, kiai dan pemimpin lupa bahwa anak-anak mereka adalah putera zaman, anak sang waktu dan kehidupan.

Nah, jika para santri adalah calon pengayom dan pendidik umat, idealnya mereka harus mempersiapkan dan menempa diri untuk menjadi orang tua bagi segala jenis kemungkinan masyarakat yang kelak akan mereka hadapi.

Mestinya setiap orang menjadi penghebat, penyemangat, pendamai, penyuluh, pecinta dan bahkan pelita bagi dirinya sendiri. Apa sebab? Kegelapan tidak pernah ada, kecuali bagi mereka yang enggan dan malas menggapai cahaya. Kebencian itu tak pernah ada, benci adalah nama lain bagi cinta yang diciderai dan disakiti. Begitu pula najis, ia tidak pernah ada. Najis dan kotor ada karena manusia enggan menjaga kesucian dan kebersihan. Akan tetapi, karena kesadaran adalah barang langka, harus selalu ada yang melestarikannya. Hal ini bukan semata ilmu, tapi juga mendialogkan ilmu dengan kehidupan.

Dalam ilmu, kesalahan nyaris selalu mendahului kebenaran, itulah mengapa kesimpulan para ilmuwan acapkali 99 kali adalah keliru, barulah yang ke-100 benar. Namun demikian, dalam keseharian, Anda tidak harus berpengetahuan dulu baru bertindak. Teramat banyak tindakan kita lebih digerakkan oleh intuisi dan keyakinan dari pada pengetahuan. Bahkan, tak jarang, tindakan manusia berdasarkan imajinasi sosiologisnya.

Ilmu pengetahuan pun juga telah mengalami reduksi dan penyempitan ruang, terutama saintek, terutama lagi pasca revolusi newtonian dan freudian. Ilmu sebatas fisika dan perilaku manusia adalah ketaksadaran belaka. Padahal, intuisi adalah ilmu, ilham dan wahyu juga ilmu, bahkan para santri sangat percaya dengan adanya ilmu Ladunni, yakni ilmu yang langsung dari Allah, tanpa melalui proses pembelajaran konvensional.

Begitu pula dengan perilaku dan tindakan manusia, para penganut Sigmund Freud meyakini bahwa tindakan manusia digerakkan oleh ketaksadaran atau pikiran bawah sadar. Ketaksadaran yang dimaksud adalah “program otomatis” di mana manusia berbuat dan bertindak berdasarkan isi program tersebut. Pandangan ini jelas bertentangan dengan dunia Timur dan khususnya Islam. Bahkan, filsuf dan sufi agung, Al-Ghazali sangat memberikan kedudukan yang istimewa untuk akal.

Nah, jika tidak semua ilmu akan mengantarkan manusia pada kesadaran, lantas, kesadaran macam apakah yang menjadi pusaka para santri di Pesantren? Adalah KH. Zaini Mun’im (w.1976), pendiri PP Nurul Jadid Paiton-Probolinggo yang mencetuskan Panca Kesadaran Santri dan otomatis para Santri wajib menjalankannya sebagai pusaka dan pedoman hidup.

Lima kesadaran itu adalah: (1) Kesadaran beragama, (2) Kesadaran berilmu, (3) Kesadaran berorganisasi, (4) Kesadaran bermasyarakat, (5) Kesadaran berbangsa dan bernegara.

Kesadaran beragama. Hal ini jelas tidak cukup bagi para santri untuk sekadar tahu dan alim soal agama, tetapi juga menyadari dan lalu menyadarkan orang lain perihal visi-misi agama, muatan agama, ajaran cinta-kasih dan moralitas dalam agama, bukan malah memperjual-belikan agama demi kepentingan perut dan jabatan semata-mata. Di tangan para santri, agama sangat dipertaruhkan, ia bisa menjadi payung horizontal dan penyambung tali silaturrahmi untuk saling menyadarkan dan mengingatkan.

Kesadaran berilmu. Adalah kesadaran akan pentingnya menguasai ilmu, segala ilmu, tanpa terkecuali saintek dan ilmu digital, karena kemajuan hanya mungkin diraih dengan pengetahuan, bahkan tiap kronik perubahan zaman dan masa, meneropong masa depan sampai angkasa, hanya mungkin dijangkau oleh ilmu, menggagas pembangunan bangsa dan Negara, lagi-lagi dengan ilmu. Kesadaran berilmu juga bermakna kesadaran untuk mendayagunakan pengetahuan demi kemanusiaan dan kemaslahatan, bukan untuk kehancuran dan pemusnahan, sebab pengkhianatan dan perselingkuhan seorang ilmuwan jauh lebih berbahaya dari pada 1.000 kesalahan 1.000 orang awan sebanyak 1.000 kali.

Kesadaran berorganisasi. Tanpa yang satu ini, kebaikan dan kebenaran pun akan semrawut dan gampang dikalahkan oleh keculasan dan kepalsuan. Oleh karena itu, berorganisasi harus ditanamkan sejak dini. Dan, Pesantren telah mengajarkan prinsip dan kesadaran ini bahkan sejak di dalam kamar, lalu asrama, forum ngaji, sekolah, madrasah, perkuliahan, bahkan berdasarkan daerah asal-usul santri. Hal ini jelas untuk mendidik santri agar memahami banyak karakter manusia melalui organisasi, belajar menyampaikan pendapat, menerima saran dan kritik orang lain, belajar perilaku organisasi serta etika dalam berorganisasi.

Kesadaran bermasyarakat. Ya, tiap individu adalah bagian dari masyarakat. Tidak ada satu manusia pun yang independen dan terbebas dari orang lain. Maha filsuf Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon, yakni makhluk sosial, bukan makhluk individual. Dan, Pesantren adalah gambaran dan simulasi bagi kehidupan masayarakat luas dengan berbagai persoalannya. Sementara itu, masyarakat adalah tempat di mana santri akan mengamalkan ilmu dan baktinya. Dinamika masyarakat sangat kompleks, bahkan multikompleks, sehingga kesadaran bermasyarakat berarti kesadaran untuk manjadi bagian dari mereka, mendidik dan mencerdaskan mereka. Oleh karena betapa tinggi apresiasi dan penghargaan masyarakat kepada kaum santri, sehingga setiap orang tua hampir pasti menjodohkan anak-anak mereka dengan santri. Dengan kata lain, di bursa perjodohan, rating para santri terus menanjak dan laris-manis.

Yang terakhir, kesadaran berbangsa dan bernegara. Sebuah kesadaran yang kini telah mengalami pergeseran makna dan perumitan bentuk. Inilah rahasia mengapa para santri tidak menjadi kelompok Islam radikal dan terlibat jaringan teroris. Sejak mula, mereka memang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan NKRI. Nasionalisme dan patriotisme ini memuncak dalam momentum resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 sehingga pertempuran 10 November Indonesia meraih kemenangan atas tentara Sekutu. Sekali lagi, mengapa kaum santri sanggup melakukan bela pati dan menjadi martir (syahid) demi bangsa dan negaranya kini terjawab sudah. Nah, pasca kemerdekaan kaum sarungan kini akan sangat ditunggu peranannya oleh masayarakat, umat, bangsa dan Negara. Apakah panca kesadaran itu masih berdenyut di jantung kita, mengalir dalam darah kita? Adakah ia sebatas kenyataan atau sejatinya tantangan bagi kaum santri untuk membangun peradaban sarung di negeri ini?

Salam ta’dzim

___________

Penulis:  Ach Dhofir Zuhry.

Penulis adalah alumni PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo, penulis buku best seller PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)

malaikat tak bersayap

Ibu

Kau lah malaikat tak bersayap sebagai penerima titipan malaikat kecil dari tuhan

Kau lah pejuang sejati tanpa balas jasa, tak berharap balas budi

Kau lah cahaya yang menerangi di petang dan senja

Kau lah bunga melati suci, indah semerbak yang tak lekang oleh waktu

Cinta yang tulus tak kan pernah pupus apalagi terhapus

Kasih yang abadi tak kan pernah  tertandingi dan tak terbagi

Belaian sayang kau curahkan tak peduli betapa letih, perih, dan pedihnya hanya untuk membuat anakmu sama dengan orang lain

Kini anakmu sudah dewasa,

Kini Anakmu sudah bahagia,

Kini Anakmu sudah menemukan tambatan hatinya,

Dan kini giliran anakmu untuk membalas segalanya

Izinkan untuk membasuh kakimu walaupun tak sebanding saat aku kecil dulu kau basuh dari ujung rambut sampai ujung kakiku

Izinkan untuk memelukmu walau tak sebanding dengan kehangatan pelukanmu saat kita kehujanan

Izinkan untuk mencium keningmu walau tak sebanding dengan jumlah ciumanmu saat-saat aku masih dalam ayunanmu

Ibu aku merinduimu selalu walau kita jauh dipandangan namun dekat dalam pikiran dan perasaan

Ibuku yang tangguh, tabah dan shalehah

Hanya doa lah yang daku panjatkan

Ya Allah ampunilah dosaku dan kedua orang tuaku dan sayangilah mereka sebagaimana menyangiku di waktu kecil.

Selamat Hari Ibu

 

20181222_foto-penulis-hindun

Foto Penulis, Hindun, Alumni UNUJA 2016