Catatan Kuliah Tasawuf Ke-9: Mengenal Maqomat dan Ahwal (2)
Macam dan Tingkatan Kesabaran
Ada tiga macam tingkat kesabaran. Ulama tasawuf berpendapat bahwa yang pertama adalah sabar menghadapi musibah. Tingkatan ini adalah tingkat yang paling rendah dari ketiga tingkatan itu. Sebab musibah datang dari luar rencana kita dan dapat menimpa siapa saja tanpa memandang bulu, baik yang kaya atau miskin. Sabar dalam menghadapi musibah ini harus dengan motif yang berdasarkan pada Allah ﷻ, karena ada juga sabar menghadapi musibah atas dasar motif nafsu, yaitu tidak berdaya dalam menghadapi musibah.
Macam kesabaran yang kedua adalah sabar dalam menjalankan tugas, kewajiban, dan perintah Allah ﷻ. Sabar ini memiliki tingkatan yang lebih tinggi ketimbang sabar menghadapi musibah. Karena tidak semua orang mampu melaksanakan perintah itu, bahkan kebanyakan dari kita tidak melaksanakan perintah-perintah Allah ﷻ. Padahal tidak berat, seperti shalat Subuh yang hanya dua rakaat, tapi rasanya seperti memikul beban satu kwintal untuk mengerjakannya. Hal itu disebabkan karena berlawanan dengan keinginan nafsu, sedangkan kita belum bisa melawan atau mengendalikan nafsu itu. Artinya kita masih belum menganggap shalat sebagai kebutuhan apalagi kesenangan, melainkan menganggap sholat sebagai beban.
Kemudian, kesabaran yang ketiga adalah sabar menjauhi larangan Allah ﷻ. Kesabaran ini, menurut Imam al-Ghazali, adalah tingkat yang tertinggi. Sebab, larangan ini adalah kesenangan bagi nafsu, dan orang yang sudah terlanjur senang itu sulit dicegah. Oleh karena itu, sabar yang ketiga ini hanya dapat dilalui oleh orang yang betul bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah ﷻ.
Untuk menghadapi ketiganya, kita harus bersabar. Tentu bersabar itu dengan motif untuk menjalankan perintah Allah ﷻ, bukan karena sesuatu yang bersifat duniawi. Sabar yang dilakukan karena Allah ﷻ pasti disertai oleh dzikir.
Melatih Diri, Mencapai Kesabaran
Kesabaran bisa bernilai ibadah apabila dimotivasi oleh perintah Allah ﷻ. Dengan itu, perlu kuatnya iman dan menancapnya iman menjadi takwa. Sebab, iman sebetulnya bukan hanya percaya. Iman adalah percaya dan patuh. Sebagaimana kata As Sayyid As Syaikh Husain Afandi al Jisr at Torobalisi pengarang kitab Husunul Hamidiyah (tauhid), bahwa iman adalah mempercayai kepada apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ dari Allah ﷻ kepada kita, lalu kita mempercayainya bahwa itu benar yang disertai dengan ketundukan. Jadi kalau hanya percaya namun tidak tunduk, itu belum dikatakan iman.
Untuk mengendalikan nafsu, tidak cukup hanya dengan ilmu dan kesadaran. Tapi juga harus disertai dengan latihan (riyadhoh). Latihan itu berupa pengendalian diri yang dimulai dari hal kecil, seperti makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Hal ini juga dapat dilakukan dengan berpuasa, sebab target puasa bukan hanya tidak makan dan minum, akan tetapi juga tidak melakukan hal yang dilarang oleh Allah ﷻ. Puasa pun harus dilakukan dengan benar, apabila puasa dilakukan dengan cara yang tidak benar malah justru akan semakin meningkatkan nafsu. Seperti balas dendam makan banyak ketika berbuka puasa.
Pahala kesabaran itu tidak ada hitungannya. Sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an Surat Az-Zumar ayat 10: إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
Kesimpulan
Hakikat sabar adalah kemampuan mengendalikan diri kita. Motif yang benar dalam bersabar adalah mendasarkan sabar untuk menjalankan perintah Allah ﷻ semata. Sabar itu bukan hanya menghadapi musibah, tapi juga sabar dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, terutama sabar dalam menjauhi hal-hal yang disukai nafsu. Untuk mencapai kesabaran itu harus didasari oleh kesadaran tentang makna hikmah kesabaran. Namun hal itu tidak cukup hanya diraih dengan kesadaran dan pengetahuan, akan tetapi juga harus melalui latihan kesabaran yang dimulai dari hal-hal kecil.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Ahmad Zainul Khofi
Editor: Ponirin Mika
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!