Terorsime dan Bahaya Laten Korupsi
Ada yang luput dari perhatian kita tentang munculnya terorisme. Selama ini kita teralalu fokus pada kejahatan terorisme dengan pendekatan logika hukum yang sifatnya represif. Hingga seolah-seolah perlu hukuman dan penanggulangan terorisme ektraketat. Dengan bangunan logika tersebut terorismedi bayangkan akan musnah. Sementara pada sisi lain tidakan korupsi makin merajalela dan menjadi-jadi bahkan pola tindakan koruptor pun semakin canggih. Jika kita konsisten dengan asumsi dan logika yang dibangun sejak awal, bahwa munculnya terorisme adalah akibat terjadinya ketimpangan dan kesenjangan sosial di masyarakat. Singkatnya terorisme lahir akibat dari ketikdakadilan social. Sebenarnya yang tidak kalah bahayanya adalah tidakan korupsi. Korupsi yang hanya menguntungkan pihak tertentu setidaknya telah berkontribusi besar adanya ketimpangan di masyarakat.
Sebagaimana kita disadari bersama bahawa korupsi merupakan tindakan yang sudah membudaya dan mendarah daging di negeri ini. Bahkan di semua lapisan dan instasi pemerintah pernah tersandung yang namanya kejahatan korupsi. Kejahatan tersebut seolah menjadi lingakran setan yang sangat sulit dicari pangkal dan ujungnya. Antara satu bagian berjalin kelindan dengan bagian yang lain. Hingga mencari akarnya pun perkara yang tidak mudah. Hingga yang terjadi bukan menyembuhkan penyakit korupsi tapi meraba-meraba mencoba mencari obat yang ampuh untuk mengobati penyakit tersebut. Akhirnya yang terjadi bukan memulihkan tapi asal tebang.
Bahaya Korupsi
Sepintas, seolah-seolah bahaya korupsi tidak sejahat terorisme. Hanya karena korban kejatan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan fisik atau nyawa seseorang. Beda halnya dengan teroris yang korbannya langsung besentuhan dengan fisik dan nyawa. Secara manefes hal tersebut bisa dibenarkan. Namun secara laten koruspsi lebih berbahaya dan labih menyikasa sebab korbannya dibunuh secara pelan-pelan, semacam pembuhuna secara mutilasi. Korban korupsi dibunuh organ-orannya sedikit demi sedikit dan satu persatu, tidak dibunuh sekaligus. Beda dengan korban terorisme yang langsung menghilangkan nyawa sesorang.
Sebut saja misalnya, korupsi di bindang anggaran pendidikan, yang mestinya anggaran tersebut jatahnya untuk masyarakat miskin, tapi karena dikorupsi maka anggaran tersebut tidak sampai kepada yang berhak. Hingga yang terjadi adalah hilangnya akses masyarakat terhadap pendidikan. Maka jangan heran, jika banyak orang yang tidak mampu secara ekonomi akhirnya putus sekolah, tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak seperti yang dinikmati oleh orang yang berada. Akibat putus sekolah, tentu saja tidak punya wawasan dan keterampilan, sehingga menjadi pengangguran di masyarakat. Jika pengangguran makin banyak maka kemiskinan menjadi meningkat. Walhasil, akibatnya banyak kemiskinan, maka kejahatan sosial dan tindakan kriminal pun meningkat misalnya tindakan terorisme, perampukan dan kejahatan sosial yang lain.
Mereka yang terpinggirkan di masyarakat sejatinya bukan cita-citanya menjadi orang yang terbelakang, menjadi orang jahat dan seterusnya. Tapi harus dipahami bahwa fenomena tersebut tidak lepas dari adanya desakan situasi dan kondisi yang menyelimutinya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Sebuah analogi lain, tindakan korupsi di pembangunan infrastrukur jalan desa akan melahirkan transportasi perjalan desa yang sulit, biaya mahal, akses ke luar tertutup dan setersunya. Infrastrukutur desa yang rendah, fasilitas yang tidak memadai, akhirnya melahirkan biaya akomodasi yang mahal dan tinggi. Sehingga ujung-ujungnya yang jadi korban tetap masyarakat miskin. Semestinya masyarakat menikamati fasilitas desa, pendidikan, infras yang layak tapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Akhirnya mencari jalan pintas alternative untuk bertahan hidup salah satunya dengan cara melawan norma dan nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Lebih jauh, internalisasi nilai-nilai kebangsaan lewat pendidikan pun akhirnya terhambat bahkan terancam gagal. Akibat tertutupnya akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang unggul, mereka berpeluang untuk diisi dengan ideologi baru yang mungkin saja berbahaya bagi keutuhan bangsa oleh pihak yang berkepentingan. Celah dan ruang akibat adanya kesenjangan sosial di masyarakat lambat laun akan menjadi bom waktu yang berbahaya bagi keutuhan bangsa. Itu bahaya laten dan jangka panjang maraknya tindakan korupsi. Demikian juga misalnya korupsi yang terjadi di bidang pembangunan infrastrukur, politik, keuangan dan lain-lain. Akan menimbulkan biaya hidup yang makin mahal, maka mereka yang jadi korban lebih memilih bertahan dengan jalan pintas dan jalan alternative dari pada harus terbebani biaya hidup yang tidak terjangkau.
Selain itu, hasil korupsi yang hanya dimonopoli dan dinikmati segelintir orang, sementara yang lain adalah korban. Setiap kali ada tindak pidana korupsi setiap kali itu pula bibit terorisme muncul. Dan, semakin tinggi angka korupsi dalam sebuah Negara maka semakin tinggi pula angka teror yang terjadi di masyarakat, apa pun bentuknya. Artinnya, kejahatan terorisme tidak bisa hanya dilihat sebagai kejahatan otonom-independen. Ia memiliki keterkaitan dengan kejatahan yang lain, utamanya tindakan korupsi yang sudah mendarah daging dan menbudaya yang dilakukan secara terus menerus oleh oktom elit politik tanpa menghiraukan kepentingan rakyat banyak. Walhasil, kejahatan tindak pidana korupi secara laten telah menyumbang lahirnya teroris dan terorisme gaya baru.
Lalu, Siapa yang paling bertanggungjawab mengatasi kejahatan tersebut, dan menanggung dosa terorisme. Secara kelembagaan tentu pemerintah, pemegang kebijakan, dan mereka yang mendapatkan amanah menjalankan roda pemerintahan dalam sebuah Negara. Secara teologis, dalam ajaran Islam disebukan dalam sebuah hadits yang mengatakan bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Pemimpin rakyat adalah pemerintah. Pemimpinan keluarga adalah orang tua, pemimpin siswa adalah guru, peminpin desa adalah kepala desa, pemimpin pesantren adalah pengasuh / kiyai dan seterusnya. Aritnya dalam konteks terjadinya terorisme dalam sebuah Negara yang paling bertanggungajwab sekaligus menangung dosanya adalah Negara dalam hal ini dalam pemerintah. Jadi, dapat dihami bahwa munculnya kejahatan terorisme adalah kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewenangannya menciptakan kemakmuran dan keadilan hukum dalam masyarakat.
Sejatinya terorisme sama saja dengan kejahatan yang lain, seperti separatsime, perampokan, penjamretan, pencabulan, pencurian dan pemerkosaan. Namun dinggap lebih parah karena korbannya bukan hanya satu dua orang tapi banyak orang yang diiringi dengan ancaman yang terorganisir. Namun kejahatan yang tidak kalah parah dan bahayanya adalah tindakan korupsi. Ia adalah kejahatan terselubung, rapi dan sistematis. Kejahatan korupsi sama halnya dengan menabung kerusuhan sosial. Ia membunuh warga dengan cara pelan-pelan, sedikit demi sedikit dengan cara memutilasi. Ia telah membunuh kreatifitas warga, mematikan akses masa depan dan kehidupannya. Akhirnya, akibat kejahatan yang berlangsung cukup lama tersebut menimbulkan akumulasi kekecewaan massal yang berkelanjutan. Kekecewaan yang mengkristal dalam tubuh masyarakat akibat ketidakadilan hukum maka akan menimbulkan kejahatan sosial seprti perampukan, pencurian dan lain-lain. Sebenarnya kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan terorisme adalah buah dari pohon yang namanya korupsi. Itulah bahaya laten exsta ordinary crime yang bernama korupsi.
Penulis: Ainul Yakin, Dosen Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo, E-mail: [email protected]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!